SUARA INDONESIA, JEMBER - Indonesia telah lama menyandang gelar Negara Agraris, bahkan sejak lampau sebelum bangsa ini merdeka. Namun rupanya, gelar tersebut dipertanyakan oleh aktivis lingkungan asal Jember Wahyu Giri.
"Ini mengingat produk agraris negara kita masih impor untuk memenuhi kebutuhan pangan, dan belum sepenuhnya mandiri," ujar Wahyu kepada suaraindonesia.co.id, Kamis (17/10/2024).
“Jadi masih layakkah kita disebut negara agraris. Kalau semuanya itu kemudian impor, yang notabenenya kita sebenarnya masih mampu untuk produksi sendiri. Urusannya adalah, ini optimal tidak untuk kita bercocok tanam,” imbuhnya.
Salah satu produk pertanian yang ia singgung adalah beras, yang menjadi makanan utama masyarakat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor beras negara kita mencapai 3,06 ton sepanjang 2023. “Ini negara agraris, tapi beras impor,” ungkap Wahyu.
Ia mengaku heran dan mempertanyakan penyebab impor beras tersebut. Menurutnya hal tersebut sebenarnya perlu dikaji. "Tentunya yang menjadi alasan utama ialah jumlah pangan kita tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat indonesia," kata Wahyu.
“Kalau memang tidak cukup, kemudian dikejar. Kenapa kok ndak cukup. Menanam atau tidak. Kalau tidak menanam, lalu apa persoalannya,” tandas Sarjana Pertanian Unej ini.
Sementara perihal minimnya produksi pertanian yang ada di Indonesia, wahyu mengatakan, hal tersebut seringkali dikait-kaitkan dengan El Nino yang menyebabkan musim kemarau. Namun menurutnya, El Nino hanya dipakai sebagai kambing hitam.
“Kecuali dalam posisi ekstrim kemarau, seperti yang terjadi pada tahun 1982 dan 1997. Makanya pak sarwono mengatakan, kebakaran hutan itu bukan karena El Nino bawa korek api kemana-mana. Karena saking dianggapnya sebagai penyebab,” terangnya.
Lanjut, Wahyu juga membahas tentang konsep ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Menurutnya dua konsep tersebut adalah hal yang sangat berbeda.
“Kalau ketahanan pangan itu yang terpenting tercukupi, tidak urus meski sumbernya impor. Tapi kalau kedaulatan pangan, itu kita memproduksi, sehingga ada komitmen tentang lahan pertanian dan sumber-sumber pertanian yang lain,” jelasnya.
Selain itu, Wahyu juga menyinggung Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jember 2024-2044, yang membahas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Sebab disebutkan dalam dokumen tersebut, jumlah LP2B di Jember mencapai puluhan ribu.
“Yang menjadi pertanyaan, letaknya dimana? Kita maunya ini benar-benar ada di lapangan, bukan hanya tercantum dalam undang-undang. Karena yang namanya lahan berkelanjutan, itu tidak boleh dialih fungsikan,” pungkasnya. (*)
Pewarta : Fathur Rozi
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Fathur Rozi (Magang) |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi