SUARA INDONESIA JEMBER

Peran Mahasiswa Dalam Menangkal Radikalisme Sebagai Bentuk Nilai Islam dalam Pancasila

Wildan Mukhlishah Sy - 11 December 2021 | 22:12 - Dibaca 5.00k kali
Pendidikan Peran Mahasiswa Dalam Menangkal Radikalisme Sebagai Bentuk Nilai Islam dalam Pancasila
Ilustrasi (Foto: Suaraindonesia.co.id)

SUARAINDONESIA.CO.ID-Persoalan yang cukup krusial di berbagai kampus adalah merebaknya paham-paham radikal yang mulai menyesatkan mahasiswa di kampus. Keberadaan organisasi di kampus, menempati peran yang sangat strategis dalam proses pendidikan karakter mahasiswa dalam ruang lingkup kampus dan sekitarnya. Organisasi dalam kapasitasnya sebagai wadah untuk berkreasi bagi mahasiswa dapat berkembang secara maksimal jika dikawal dengan baik oleh pihak kampus, baik dalam hal strategi maupun peranannya dalam mengawal para mahasiswa serta menghadapi berbagai persoalan yang sedang marak terjadi di kampus belakangan ini.

Realitas keberagamaan umat Islam saat ini mengalami kesenjangan antara idealitas dan realitas umat Islam. Model keberagamaan cenderung menimbulkan benturan dan bahkan perpecahan antara fenomena keberagamaan tekstual-formalistik dan model liberal-kontekstual. Model keberagamaan formalistik cenderung melahirkan radikalisme keagamaan yang menganggap orang lain yang berbeda ideologi dengan dirinya adalah salah sehingga harus dimusuhi. Ukuran mereka adalah ajaran Islam yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan pembacaan tekstual.

Data yang disampaikan dalam sebuah penelitian yang berjudul Radikalisme di Kalangan Mahasiswa di Yogyakarta menghasilkan narasi bahwa perguruan tinggi umum lebih mudah dijadikan sebagai tempat rekrutmen gerakan radikal. Sementara perguruan tinggi yang berbasis keagamaan, lebih sulit dalam upaya radikalisasi. Jika ternyata fakta tersebut menunjukkan bahwa gerakan radikal juga sudah marak dan tumbuh subur di kampus yang berbasis keagamaan, maka ini membuktikan dua hal. Pertama, terjadi perubahan di dalam perguruan tinggi berbasis keagamaan itu sendiri. Kedua, adanya metamorfosis yang berbentuk strategi gerakan di internal gerakan-gerakan radikal itu sendiri (Saifuddin, 2011: 28-29).

Kebijakan perguruan tinggi merupakan sumber utama untuk membentuk karakter mahasiswa agar berada pada ajaran Islam yang moderat (tidak paham kanan ataupun paham kiri). Islam yang moderat adalah salah satu cara untuk meredam aliran radikal yang semakin berkembang di lingkungan kampus. Sehingga hal ini menjadi perhatian, khususnya dari pemerintah. dan Kementerian Agama. Kemudian yang perlu direspon adalah pendidikan yang berada di perguruan tinggi.

Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa tidak hanya kampus umum, namun juga kampus-kampus keagamaan pun tidak lepas dari sasaran paham-paham radikal yang sekarang sudah mulai merambah dunia kampus. Dalam konteks ini, kehadiran organisasi-organisasi di kampus idealnya turut berkontribusi sesuai dengan perannya dalam menangkal paham-paham radikal yang secara sengaja disusupkan dalam berbagai materi keagamaan yang diajarkan secara terstruktur di dalam maupun di luar kampus. Namun, jika tidak diperhatikan dengan serius, organisasi-organisasi yang berkembang bisa saja juga ikut disusupi paham-paham radikal dan menjadi senjata ampuh dalam penyebaran paham-paham radikal.

Radikalisme merupakan bagian dari gejala umum yang terjadi dalam sebuah masyarakat dengan motif yang beragam, baik sosial, politik, budaya maupun agama, yang ditandai oleh tindakan-tindakan kekerasan, ekstrem, serta anarkis sebagai perwujudan dari penolakan terhadap gejala yang dihadapi. Selain istilah radikal, sebutan lain yang dipakai untuk melabeli sebuah gerakan yang cenderung anarkis ini yakni fundamentalis, ekstrem, dan militan.

Bahaya radikalisme keagamaan merupakan problem bersama. Banyak strategi kaum radikal yang dipakai agar ideologi ekstremis mendapatkan pengikut yang lebih banyak, di antaranya adalah melalui pemanfaatan media sosial bertujuan untuk propaganda dan perekrutan anggota baru. Hal ini sangat mengancam masa depan kebangsaan. Konsumsi gadget terbesar adalah kalangan muda, mereka menjadi target utama karena jumlahnya mencapai lebih dari separuh dari total penduduk di Indonesia. Infiltrasi nilai-nilai kekerasan, kebencian, dan permusuhan dengan mendasarkan pada dalil-dalil keagamaan akan mudah diikuti para generasi muda, terlebih mereka tengah berada pada usia pencarian jati diri.

Tidak mudah bagi ormas Islam dalam menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Sedari awal, organisasi yang didirikan oleh para kiai pesantren ini berupaya memperkuat substansi dan praksis keagamaan dalam membangun bangsa dan negara secara bersama-sama. Substansi yang terkandung dalam Pancasila sudah sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang perlu diperjuangkan. Pancasila dirancang sebagai ideologi pemersatu sehingga substansinya harus mampu mengakomodasi seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, etnik, dan lain-lain. Substansi ini yang perlu digali sehingga Pancasila dapat diterima sebagai asas.

 Penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi tidak dilakukan NU tanpa dasar dan argumen syar’i dalam pandangan Islam. Hal ini dilakukan oleh para kiai pesantren pada Munas Ali Ulama di Situbondo tahun 1983, setaun jelang Muktamar ke-27 NU di tempat yang sama. Para kiai yang digawangi oleh KH Achmad Shiddiq Jember merumuskan hubungan Pancasila dengan Islam. Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia. Deklarasi hubungan Islam dan Pancasila dalam pandangan Kiai Achmad Shiddiq bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Mereka beranggapan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti mendepak atau melemparkan iman dan menerima asas tunggal Pancasila berarti kafir, sedang kalau menerima keduanya berarti musyrik. Hal ini ditegaskan oleh Kiai Achmad Siddiq sebagai cara berpikir yang keliru. (Baca Menghidupkan Kembali Ruh Pemikiran KH Achmad Siddiq, Logos, 1999)

Dengan cara berpikir keliru tersebut, Kiai Achmad Siddiq menegaskan kepada seluruh masyarakat bahwa Islam yang dicantumkan sebagai asas dasar itu adalah Islam dalam arti ideologi, bukan Islam dalam arti agama. Langkah ini bukan berarti menafikan Islam sebagai agama, tetapi mengontekstualisasikan Islam yang berperan bukan hanya jalan hidup, tetapi juga sebuah ilmu pengetahuan dan pemikiran yang tidak lekang seiring perubahan zaman.Para aktivis radikal Islam tidak menerima paham-paham kebangsaan, seperti nasionalisme, cinta tanah air, patriotisme, dan demokrasi atau isme-isme yang bersumber dari Barat. Dengan begitu, ideologi kelompok fundamentalis ini bukan hanya berpotensi mencabik ketenteraman masyarakat beragama, kerukunan masyarakat Indonesia yang berlatar pluralis dan multikultural, melainkan juga membahayakan pada semua “keintiman”.

Dalam beberapa hal terkait dengan ke-Islaman, mahasiswa memiliki pemikiran tersendiri, misalnya: kepemimpinan yang khilafah, seperti negara kita saat ini yang menganut sistem negara barat yang kafir ini pasti tidak akan pernah diridai oleh Allah Swt. Oleh karena itu, negara kita sampai saat ini tidak maju-maju, baik peradaban maupun kesejahteraannya. Ketika membincang tentang tema Islam saat ini di Indonesia, sebagian besar mahasiswa memberikan jawaban, bahwa Islam sebagai agama yang paling banyak dianut oleh manusia Indonesia saat ini, hanya dimaknai sebagai agama ritual dan keturunan.

Orang Indonesia ber-Islam itu karena mereka lahir dari orang tua dan masyarakat yang beragama Islam. Tetapi pada dasarnya mereka tidak memahami bagaimana hakikat ber-Islam yang sesungguhnya (baca: Islam Kaaffah). Islam juga hanya dimaknai sebagai sekumpulan kewajiban dalam bentuk ritual yang harus ditunaikan, tanpa mengerti lebih jauh kenapa kita harus melakukan ritual-ritual seperti shalat, puasa, zakat maupun haji tersebut. Dasar-dasar Islam yang kaaffah belum dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Ini tentu saja menjadi tugas bagi semua komponen aktivis dakwah kampus untuk menyadarkan umat Islam, agar tidak terjebak pada pemahaman-pemahaman Islam yang dangkal seperti ini. Mereka juga berpendapat, bahwa Islam yang dipraktikkan di Indonesia masih sangat kental unsur budaya dan tradisinya atau mereka sebut sebagai akulturasi dengan kebudayaan setempat. Hal ini harus diwaspadai, karena bisa menjerumuskan umat Islam kepada kemusyrikan, yang bisa diganjar sebagai dosa besar oleh Allah Swt. Islam harus ditafsir dan dipraktikkan sesuai dengan apa yang terjadi di Makkah dan Madinah dahulu di zaman Rasulullah saw. agar pemahaman Islam kita tidak melenceng dari apa yang digariskan oleh-Nya.

Perguruan tinggi harus menjadi ruang untuk merefleksikan kebangsaan. Sehingga melihat pada potensi mahasiswa bagi kebangsaan yang menjadi pusat perubahan yang nantinya akan menjadi sebuah negara yang bersih dari radikalisme. Begitu sebaliknya, jika potensi yang ada di mahasiswa itu diabaikan maka akan berdampak pada keruntuhan bangsa. Dengan semakin meluasnya paham radikalisme agama di Indonesia, terutama gejala Islam di kampus ini cukup ketara dibandingkan dengan gerakan keagamaan. Dari gejala kebangkitan yang terdapat pada perubahan revolusioner dalam gaya hidup mahasiswa, dampak kebangkitan ini memang besar. Seperti masjid yang ada di kampus menjadi pusat kegiatan keagamaan dan tidak terlepas dari kegiatan keagamaan dan asosiasi mahasiswa Islam.

Dengan hal ini, moderasi beragama dan penerapan nilai-nilai pancasila sesungguhnya merupakan kunci utama untuk terciptanya hidup saling toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, global, maupun nasional. Dengan adanya moderasi dapat menolak ekstremisme dan radikalisme dalam beragama yang merupakan sebagai kunci keseimbangan. Dalam arti, memilih jalan tengah yang tidak memihak pada ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri demi terjaganya peradaban dan terciptanya perdamaian. Maka dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara baik, sopan, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan sejahtera.







DAFTAR PUSTAKA


Buchor,Muchtar.“Radikalisme Agama; Sebuah Catatan Awal.”Jurnal Pesantren,4,3 (1986).

Depdiknas RI, Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia,Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas,2008.

Hadziq, A. (2019). Nasionalisme Organisasi Mahasiswa Islam dalam Menangkal Radikalisme di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 4(1), 50-59. 

Ismail, A. (2012). Pemikiran dan Gerakan Keagamaan Mahasiswa: Memahami Merebaknya Radikalisme Islam di Kampus. Dinamika Penanganan Gerakan Keagamaan, 48.

Kartodirdjo, Sartono. Ratu Adil, Jakarta: Sinar Harapan.1985.

N. Maimun and K. Mohammad Kosim, Moderasi Islam Di Indonesia. LKiS, 2019.

Ni'mah, Z. A. (2020). Urgensi Madrasah dalam Membangun KarakterModerasi di Tengah Perkembangan Radikalisme. Prosiding Nasional, 3, 1-20.

Saifuddin, S. (2011). Radikalisme Islam Di Kalangan Mahasiswa (Sebuah Metamorfosa Baru). Analisis: Jurnal Studi Keislaman, 11(1), 17-32.

Triputra, D. R., & Pranoto, B. A. (2020). Annizom, 5(3).

Wahyudi, I. (2020). Menangkal radikalisme agama di Perguruan Tinggi: studi tentang kebijakan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dalam mencegah perkembangan paham radikal di kalangan mahasiswa (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).

Mohammad Zakaria drajat

Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir

Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq Jember

[email protected]

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Wildan Mukhlishah Sy
Editor : Imam Hairon

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya